Aku Wahabi?
Isu
Wahabi kian merebak seiring menyebarnya dakwah sunnah. Seakan-akan semakin
seseorang mengenal sunnah, maka semakin kental wahabi mengalir didarah orang
tersebut.
Bagi orang awam, tentu sangat mudah termakan isu ini. Ketika orang-orang terdekatnya teriak “Wahabi itu berbahaya!”. Maka orang yang tidak paham apa-apa pun bisa langsung membenci Wahabi. Bahkan ikut menghinanya.
Tak
ingin dikatakan “Berbicara tanpa ilmu”, maka orang tadi mencari tahu apa Wahabi
itu sebenarnya. Namun sayangnya dia kembali mencari informasi ke orang yang
sudah membenci Wahabi. Diberitahukannya lah hal-hal yang kebenarannya sendiri
perlu dipertanyakan.
“Wahabi
itu anti-ziarah kubur.”,
“Wahabi
itu benci sholawatan.”,
“Wahabi
itu tidak suka bertawassul.”
Akhirnya
semakin menjadilah kebencian di hati orang itu. Terlebih dia hidup di lingkungan
yang kental dengan adat ziarah kubur, ngalap berkah, dan lain sebagainya.
Namun
jika kita bisa membuka pikiran dan melihat dari perspektif lainnya, atau
bertanya pada narasumber lainnya, tentu akan berbeda cerita.
Wahabi
yang selalu dikaitkan dengan dakwah sunnah, adalah suatu upaya untuk memisahkan
kita sebagai Ahlussunnah wal jama’ah dari sunnah
itu sendiri. Mereka menuduh da’i-da’i sunnah sebagai penyebar ajaran Wahabi
agar membuat orang takut dan selalu memandang negatif dakwah sunnah.
Lalu
berkembang juga isu bahwa dakwah sunnah itu intolerir terhadap Khilafiyyah.
Menjawab
persoalan ini, sebenarnya mereka bukanlah intolerir. Jika kalian melihat
ceramahnya, maka semua fatwa yang disampaikan oleh da’i-da’i tersebut adalah
IJMA (kesepakatan MAYORITAS ulama). Dan sesungguhnya ijma’ adalah lebih ahsan
(baca: lebih baik) menurut kami. Bukankah lebih aman mengikuti pendapat yang
banyak pendukungnya dibanding yang sedikit? Itulah yang menjadi pedoman kami
dalam berfatwa.
Jika
ada pertanyaan dari jama’ah mengenai khilafiyyah, tentu para da’i akan
menyampaikan fatwa dari mayoritas/pendapat yang lebih kuat. Jika dalam suatu
masalah para imam yang empat berbeda pendapat, maka tentu akan mereka
sampaikan. Misal, Imam A dan C berpendapat seperti ini dan begini. Lalu Imam B
dan D berpendapat seperti itu dan begitu. Maka itu akan menjadi pilihan kalian
untuk memilih pendapat yang mana.
Lalu
ada juga tuduhan bahwa dakwah Salafiyyin hanya mau mengambil pendapat-pendapat
dari Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, Ibnu Taymiyyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah,
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, atau Syaikh Nashiruddin Albani. Yang notabene
semuanya bermadzhab Hambali?
Untuk
menjawab ini, tentu Salafiyyin mengangkat pendapat-pendapat mereka bukan tanpa
alasan. Melainkan ada satu alasan. Yakni Imam Ahmad bin Hambal adalah imam
yang paling kuat hafalannya dalam masalah hadits. Imam Ahmad
mengahafal lebih dari 1.000.000 hadits. Bahkan Imam Ahmad diakui mempunyai
wawasan tentang ilmu hadits lebih luas dibanding gurunya, Imam Syafi’i.
Imam
Ahmad memfokuskan untuk memperdalam ilmu hadits dan ilmu fiqh. Sehingga tidak
mengherankan apabila banyak da’i lulusan saudi memegang pendapat mereka (para
ulama Hambali-pent) dalam masalah fiqih.
Berpegang
dengan madzhab Hambali bukanlah untuk menjatuhkan madzhab yang lain. Apabila
segala yang disampaikan oleh para da’i salafiyyin itu menyakitkan hati
orang-orang yang tidak sepaham, maka berpikir positiflah. Beliau-beliau ini
hanya memberitahu mana yang lebih afdhal dan lebih ahsan.
Apabila
ada yang tidak sepaham maka dipersilahkan untuk tidak mengikuti sang ustadz.
Dan apabila
ada yang tertarik dengan penjelasan sang ustadz, maka dipersilahkan mengikuti.
Mari kita analogikan seperti ini.
Anggap
ada 26 tali yang tergantung di dinding tebing yang sangat tinggi. Tali A, B, C,
D, dan seterusnya sampai Z. Lalu kita berniat untuk mencapai puncak tebing
bersama-sama. Kemudian ada seorang ahli climber yang sudah belajar
tentang jenis-jenis dan komposisi tali. Ditengah perjalanan memanjat, dia
memberitahukan kepada orang-orang yang mana tali yang lebih kuat.
Orang-orangpun mendengarkan penjelasannya. Dia mengatakan tali yang paling kuat
adalah tali A, B, C, dan D saja. Lalu apakah orang-orang yang sedang memanjat
menggunakan tali E harus tersinggung? Apakah orang yang memakai tali F harus
mencemooh pendapat si climber dan orang-orang yang mendengarkannya?
Tentulah tidak. Orang yang memilih memakai tali E, F, G, H dan yang lainnya
kemudian menolak pendapat si climber hanya cukup terus memanjat dengan
talinya masing-masing. Tidak perlu merasa tersinggung karena talinya lemah. Si climber
hanya menyampaikan pendapatnya. Bukan bermaksud menrendahkan hati pemanjat yang
lain.
Itulah
analogi dari dakwah Salafiyyin ini. Sekiranya dapat dimengerti oleh orang-orang yang
masih bingung atau termakan isu Wahabi.
Dan
tulisan ini akan kami tutup dengan potongan isi pidato dari Raja ‘Abdul Aziz.
“Mereka menamakan kami seperti “orang-orang Wahabi”. Mereka menamakan madzhab kami ‘Wahabi’, dengan anggapan sebagai madzhab khusus. Ini adalah kesalahan yang amat keji. Muncul dari isu-isu bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu. Dan kami bukanlah pengikut madzhab dan aqidah baru. Muhammad bin ‘Abdul Wahab tidak membawa suatu yang baru. Aqidah kami adalah aqidah salafussalih. Yaitu yang terdapat di Kitabullah dan sunnah rasulnya, serta apa yang menjadi pegangan salafusshalih. Kami memuliakan imam-imam yang empat. Kami tidak membeda-bedakan antara imam-imam. Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Abu Hanifah. Seluruh mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam pandangan kami, sekalipun kami dalam masalah fiqih berpegang dalam madzhab Hambali.”
- Raja
Abdul ‘Aziz dalam pidatonya didepam jama’ah haji 11 Mei 1929.
Wallahu
waliyyut taufiiq.
Komentar
Posting Komentar