Tidak boleh mensholatkan pendukung Ahok, Berlebihankah?

Hal ini nampaknya menjadi suatu masalah yang tiada habisnya. Semua orang mengeluarkan argumennya. Ada yang asal berbicara, ada yang berbicara mengikuti logika dan akalnya, dan tidak sedikit juga yang mengambil pendapat dari Al-Qur’an dan Hadits, dan inilah sebaik-baik jalan.
Jika ditelusuri menggunakan Al-Qur’an dan Hadits, masalah ini seharusnya tuntas dengan 2 langkah,

1. QS. An-Nisa : 138-139


بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا

(138) Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (139) (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi Auliya’ dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS. Al-Nisa’: 138-139)

Makna Auliyâ’ pada ayat ini sangat banyak. Secara bahasa, auliyâ adalah bentuk jamak dari wali, yang artinya orang yang memberi perlindungan atau pemimpin (yang melindungi rakyatnya). Dalam makna lain, auliyâ diartikan sebagai orang yang dicinta, orang yang diberikan loyalitas, teman atau sahabat. Semua itu dapat dimaknakan ke hadits ini.

Seorang muslim yang mendukung dan memilih orang kafir sebagai pemimpin akan dicap sebagai seorang munafik yang kelak akan mendapat siksaan di akhirat nanti. Poin ini adalah perlu dan penting digarisbawahi untuk melanjut ke langkah berikutnya.

2. Shahih Bukhâri dan Muslim

“Dari Umar bin Khattab bahwa ketika Abdullah bin Ubay meninggal, anaknya datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta gamis beliau untuk kain kafan bapaknya dan Rasulullah memberinya. Ia pun meminta Rasulullah mensholatkan bapaknya. Ketika Rasulullah akan mensholatkannya, Umar berdiri dan memegang baju Rasulullah dan berkata, “Ia itu orang munafik”. Namun Rasulullah tetap mensholatkannya. Maka turunlah ayat ini (QS. At-Taubah : 84) sebagai larangan menshalatkan orang yang mati dalam keadaan kafir atau munafik. Sejak itu Rasulullah tidak mau lagi mensholatkan orang munafik.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu sekali-kali mensholatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (QS. At-Taubah : 84)

Sudah menjadi pengetahuan umum dalam ilmu tafsir dan hadits bahwa azbabun nuzul (sebab turun) nya ayat ini adalah peristiwa pensholatan tokoh munafik Abdullah bin Ubay. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak tahu hanya melakukan yang wajib dan zahir baginya karena Abdullah bin Ubay mengaku sebagai seorang muslim, tentu nabi mensholatkannya karena itu adalah perkara zahir.

Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa selama saudara YAKIN dan selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah, maka sikap yang dilakukan saudara-saudara muslim kita di Jakarta yang memasang dan menyebar spanduk untuk tidak mensholatkan jenazah pemilih pemimpin kafir adalah TIDAK BERLEBIHAN dan SUDAH SELAYAKNYA.

Sebaliknya, orang-orang itu akan diberikan pahala karena telah mengingatkan kepada teman-teman muslim kita yang belum tahu hukum memilih pemimpin kafir dari Al-Qur’an kita.



Wallahu waliyyut taufiq

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membantah Argumen Pandji Pragiwaksono

Studi Terakhirku

Coretan Penulis: Toleransi dalam Perspektif Islam